adsensecamp

Minggu, 30 Januari 2011

Jangan Atasi Pencemaran dengan Pikiran Tercemar

Jangan Atasi Pencemaran dengan Pikiran Tercemar

ini bukan kentut biasa. Tapi, kentut luar biasa. Bahkan, sangat istimewa. Karena tidak biasa maka tidak tabu untuk selalu menyebutnya. Bagi siapa saja yang pernah ‘’menikmati’’ kentut dimaksud, dijamin bakal tak bisa melupakannya. Bulu rindu akan berdiri manakala ia menghilang dari hidung.
Sejatinya, kentut istimewa itu tak beda daripada kentut umumnya. Jika kentut lain bau, ia malah lebih bau. Kalau kentut biasa cepat hilang, ia bisa tahan berlama-lama. Bahkan, aroma khasnya menyengat sampai radius berkilo-kilo meter.

Ia memang bukan sembarang kentut. Kehadirannya adalah berkah. Makin sering baunya mampir di hidung, makin banyak lembaran uang yang tercetak. Kentut istimewa itu ada dua –setidaknya menurut pengalaman indra pembau saya. Pertama, kentut PT KBR (Kertas Basuki Rahmat). Kentut PT KBR sangat populer di eranya, yakni sekitar tahun 1970 hingga 1980-an. Bunyinya kenceng dan khas. Biasanya menjelang sore. Bagi yang tinggal di Banyuwangi kota dan sekitarnya pasti tidak asing. Begitu terdengar bunyi kentut PT KBR yang melaung panjang, aroma spesial langsung menusuk hidung. Bagi yang hidungnya belum familiar akan langsung munek-munek isi perutnya. Itu sebabnya, ada yang bilang ketika itu bahwa kentut PT KBR sebagai limbah. Tapi, apapun namanya dan seberapapun baunya, kentut PT KBR tetap merupakan berkah. Sebab, ia bagian dari proses produksi. Justru jika tidak bisa kentut, perut PT KBR bisa kembung, lalu jatuh sakit. Kalau sampai opname, tidak ada lembaran kertas yang diproduksi. Yang berarti pula tidak ada lembaran uang yang dibawa pulang karyawan, ha ha ha...
Kini, kentut PT KBR tinggal kenangan. Akibat hantaman krisis moneter di penghujung era 90-an, PT KBR tidak bisa kentut lagi. PT KBR sakit. Kolaps. Ratusan karyawan dirumahkan. Dan, hilang sudah salah satu ikon yang melambungkan nama Banyuwangi di seantero Indonesia itu. Sejarah mencatat, buku produk PT KBR jadi idola bagi para siswa. SD hingga SMA, juga mahasiswa. Bahkan, semua kegiatan catat mencatat menggunakan buku KBR. Pokoknya, PT KBR saat itu jadi bintang. Kerja di situ jadi kebanggaan. Disegani. Karyawannya jadi rebutan orang tua yang mencari menantu. Tapi sayang, semua itu kini tinggal kenangan. Oh, PT KBR-ku, kapan dikau bisa kentut kembali…
Kentut kedua keluar dari pantat pantai Muncar. Baunya amis. Sangat menusuk hidung. Sama dengan PT KBR, jika kentut Muncar makin amis berarti sedang terjadi proses pencetakan uang yang gencar di sana. Itu sebabnya, jika ada orang dari luar kota muntah-muntah saat melintas di jalanan Muncar, warga setempat tidak akan tersinggung. Justru sebaliknya, mereka sangat senang. Itu pertanda mesin uang sedang bekerja. Ada pameo: makin amis makin melimpah uang di Muncar. Bagi saya yang lahir dan besar di Muncar, pernyataan itu lebih dari sekadar pameo. Tidak mengada-ada, tapi benar-benar nyata.
Sayang sekali, sudah hampir setahun Muncar tidak kentut. Tidak ada bau amis yang mengusik hidung. Tidak ada tangkapan ikan yang dibawa pulang nelayan. Tidak ada ikan yang berkeliaran di perairan Muncar. Laut Muncar sudah tercemar. Vonis itu disampaikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Bahkan, hasil penelitian BPPT menyebutkan, tingkat pencemaran di perairan Muncar sangat parah. Sudah menjangkau kawasan perairan sejuah 200 hingga 300 meter dari bibir pantai. Pabrik-pabrik di pinggir pantai Muncar langsung menjadi pihak yang tertuduh sebagai biangnya. Di Muncar saat ini berdiri sekitar 90-an pabrik. Konon, semuanya belum dilengkapi IPAL (instalasi pengolahan air limbah). Setelah mendengar presentasi dari BPPT, konon bupati Abdullah Azwar Anas langsung ‘’marah’’. Bupati langsung memerintahkan tim terpadu segera action. Yakni, menindaklanjuti adanya indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pengelola pabrik. Anggota tim terpadu itu sangat komplit plit. Mulai Pemkab Banyuwangi, Polri, TNI AL, kejaksaan, hingga pengadilan. Benar-benar sebuah ‘’teror’’ bagi pengelola pabrik di Muncar.
Efektifkah tim terpadu itu? Maaf, saya tidak optimis hasil tim itu bakal menyelesaikan persoalan di perairan Muncar. Justru sebaliknya, saya khawatir malah akan menambah masalah. Misalnya begini, jika kelak sebagian (besar ataupun kecil) dari pabrik yang ada sampai di-perdata-kan atau bahkan di-pidana-kan, sangat mungkin pemiliknya akan mutung. Menutup pabriknya. Jika itu sampai terjadi, akan ada ratusan bahkan ribuan orang kehilangan lapangan pekerjaan. Tentu saja, itu sangat kontraproduktif dengan kampanye Bupati Anas menjelang pemilukada dulu yang akan membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Informasi yang saya catat, kini sedikitnya 17 ribuan tenaga kerja bekerja di 90 pabrik di Muncar. Penutupan pabrik pengolahan hasil laut, tidak hanya membuat banyak tenaga kerja terancam PHK. Melainkan efek dominonya akan dialami para nelayan. Sebab, dengan tutupnya beberapa pabrik maka secara otomatis serapan hasil tangkapan ikan nelayan berkurang. Akan banyak ikan yang tidak terbeli pabrik langganannya. Kalau sudah begitu, harga ikan akan drop. Murah. Karena terlalu over produksi. Kesimpulannya: dengan tutupnya beberapa pabrik (semoga tidak sampai terjadi) akan banyak orang kehilangan pekerjaan, sementara nelayan menjerit karena harga ikan tangkapannya sangat murah.
Ada baiknya pemkab membentuk tim terpadu yang terkait langsung dengan substansi persoalan, yakni pencemaran perairan Muncar. Misalnya, memilih orang-orang yang kompeten di bidang limbah. Bisa dari dinas perikanan atau dari ‘’luar’’. Tugas utama mereka adalah mengembangkan hasil penelitian BPPT. Bisa dimulai dengan pertanyaan berikut: apa benar perairan Muncar hanya tercemar oleh limbah pabrik pengolahan ikan? Bukankah perairan Muncar saat ini juga menjadi penampungan akhir sampah dan limbah rumah tangga. Ingat lo, sampai kini di Muncar belum ada TPS/A (tempat pembuang sementara/akhir) sampah. Akibatnya, masyarakat membuang sampah ke sungai atau saluran air yang muaranya ke perairan Muncar. Selain itu, limbah kimia dari obat-obat pertanian yang dipakai petani di sekitar pabrik juga berujung ke perairan Muncar. Sedikit banyak, limbah rumah tangga dan limbah obat kimia untuk tanaman di sawah seharusnya patut diduga juga punya andil terhadap pencemaran perairan Muncar.
Tim terpadu dari para ahli itu juga patut mencurigai faktor cuaca yang tidak menentu sebagai penyebab ikan lari. Pun, kondisi terumbu karang di perairan Muncar dan cara penangkapan ikan yang membabi buta juga patut dicurigai sebagai penyebab ikan tidak kerasan lagi di perairan Muncar.
Terakhir, jika ingin mendapat informasi yang komprehensif, tim ahli itu harus blusukan ke dalam pabrik. Melihat secara langsung proses yang terjadi di sana. Setahu saya, dari prose produksinya pabrik dibagi tiga. Yakni, pengalengan, penepungan, dan coldstorage. Coldstorage nyaris tidak menimbulkan limbah. Sebab, di sini ikan hanya dibersihkan lalu dibekukan. Kadar ‘’limbah’’ air buangnya sama dengan air ikan yang dibuang saat dinaikkan ke dermaga. Proses pengalengan juga tidak terlalu menyebabkan banyak limbah. Paling banter limbahnya justru diakibatkan dari saos dan penyedap lainnya ketika dicampurkan ke ikan sebelum dikaleng. Penyumbang limbah terbesar diduga terjadi di penepungan. Setidaknya bisa dilihat dari proses produksinya. Yakni, ikan yang utuh diubah menjadi tepung. Proses penepungan juga menghasilkan minyak ikan. Nah, untuk mengurai minyak ikan inilah dibutuhkan soda kostik. Yang lazim dipakai adalah caustic soda flake 98%. Bahan kimia inilah yang sangat berbahaya. Kain yang terkena zat ini akan rompol. Tapi, sebenarnya, beberapa pengelola pabrik tidak diam. Untuk mengurangi limbah bahaya, beberapa pabrik sudah menggunakan separator untuk proses minyak ikan. Itupun masih difilter lagi dengan water treatment, sehingga limbah yang masih ‘’bobol’’ keluar bisa diminimalisasi.
Dengan melihat langsung proses produksi di dalam pabrik, tim ahli akan tahu secara langsung pabrik mana yang sudah memenuhi standar pengolahan limbah (meski belum punya IPAL). Walhasil, ke depan tidak lagi meng-gebyah uyah dengan menyebut semua pabrik di Muncar bermasalah. Dari pengakuan beberapa pengusaha Muncar kepada saya, sebenarnya sudah lama beberapa pemilik pabrik ingin membuat IPAL di pabriknya. Itu dibuktikan dalam bentuk usul yang cerdas. Usul itu disampaikan kepada pemkab tiga tahunan silam oleh asosiasi pengalengan dan penepungan ikan (APPI). Yakni, pembangunan IPAL terpadu. Kenapa terpadu? Sebab, tidak semua pabrik di Muncar besar. Ada yang kelas menengah. Bahkan, masih banyak yang kecil. Yang menengah ke bawah tentu akan sangat berat jika diwajibkan membangun IPAL yang instalasinya membutuhkan dana Rp 800 juta hingga 1 M. Belum lagi membayar konsultan khusus IPAL. Bagi pabrik besar tentu saja tidak ada masalah. Jika memang pemkab tidak bisa memfasilitasi IPAL terpadu, saya percaya secepatnya pabrik besar akan membuat IPAL sendiri. Tapi, beri kepastian dulu dong soal IPAL terpadu.
Ingat, produk hasil laut Muncar selama ini sudah lolos SKP (surat kelayakan pengolahan) dan HACCP (hazard analisa critical control point). ‘’Sertifikat’’ yang terakhir menentukan titik bahaya tahapan proses, di dalamnya termasuk masalah limbah tentunya. Ingat pula, SKP dan HACCP itu dikeluarkan oleh pemerintah lewat LPPMH (lembaga pengawasan pengujian mutu hasil perikanan).
Wa ba’du. Perairan Muncar tercemar adalah fakta. Ilmiah pula. Tapi, pencemaran itu tidak akan bisa diselesaikan dengan pikiran yang tercemar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar